Inspirasi selalu lahir dimana saja, kapan saja, bersumber dari mana saja, hingga kita selalu tersenyum memikirkannya.
Termasuk saat aku pulang larut malam, ke peraduan tercinta, asrama tercinta, asrama yang mengajarkan aku untuk banyak menekan keegoisanku, asrama yang mengajarkan ku (atau bahkan kami) menjadi seseorang yang berkarakter, Ka-Rak-Ter, asrama yang mengajarkan perut ku (atau bahkan sebagian dari kami) beradaptasi dengan protein gandum (baca: gluten), asrama yang banyak mengajarkan kami berpose, semoga aku (juga kami) bisa mengajarkannya untuk Indonesia (juga dunia).
Saat itu, jalan menuju asrama ku terbagi menjadi 2 jalur, jalur (1) merupakan jalur yang biasa dipakai bagi anak asrama yang punya motor atau mobil (sebagian dari kami menyebutnya, jalan orang kaya), jalur (2) adalah jalur berdarah-darah, perlu jungkir balik, guling-guliang, merunduk, menjengkang (lebay beeeuuud ya), yang becek ketika musim hujan, berdebu ketika musim kemarau (kami sebut: jalan orang miskin, karena hanya orang yang ndak punya mobil/motor yang bisa lewat sini). Lebih lengkap penderitaan sepatu ini ketika jalan ini menembus kebun milik Sarekat Petani Indonesia. Jalannya berada di tepi jurang setinggi 30cm, yang dibawahnya mengalir sungai yang jernih, sisi yang lain lagi ada tanaman kangkung milik SPI, kadang kami jika lewat jalus harus membawa kompas, tali, korek api, dodol dan tenda, takut-takut kalau kami kesasar, luar biasa perjuangan ini menembus jalan berat ini, Alhamdulillh ya Allah hambamu masih diberi kesempatan untuk lolos dari jalan yang lebih berbahaya ketimbang “alas roban” ini ya Allah.
Namun, malam itu ada yang berbeda. Setitik cahaya terbang melayang di antara gelapnya sekitar, aku tertarik, ia mengapung di lautan tinta hitam malam, “kunang-kunang !”, aku girang, dalam hati, aku memberi tepuk tangan meriah, memuji ia akan cahayanya, eh ia tak bergeming, bahkan ia tak juga melirikku, entah mungkin apa yang ia rasa namun ia tetap memancarkan sinar, seperti tidak memperdulikannya, ia tetap mengapung, intensitas cahaya-nya ndak berubah, tetap kuning kehijauan, cemerlang, berapi-api,
Mungkin ia telah terbiasa sendiri, terbiasa untuk selalu disalahkan, terbiasa dalam kaku, terbiasa dalam menahan keluh, terbiasa dalam dingin, terbiasa dalam keterbatasan, terbiasa dalam kesepian tanpa ada yang memberikan tepuk tangan, terbiasa tanpa matahari, terbiasa dalam diam, terbiasa terbang di gelap malam, terbiasa tanpa atribut di bawah namanya, terbiasa tanpa pujian, terbiasa tanpa kata “waaaahhhh” atau “kunang-kunang, kereeeeennn” dari sekitarnya, terbiasa ndak dianggap, bahkan oleh sesamanya….
Semoga kita tetap menjadi kunang-kunang, yang kepakkan sayap terbang, mengapung, bercahaya tanpa mengharap tepuk tangan dari sekitar…
01.19
Posting Komentar