Udara diluar teramat dingin bagi ari dan epidermis masyarakat tropis seperti aku, thermometer yang tertera di jalan menunjukkan angka 11oC, angin berhembus kencang hingga kerah jaketku bergerak-gerak seperti ekor kucing yang malu-malu. Pohon yang menjaga gang jalan terpaksa menggugurkan daunnya, kalaupun daunnya tersisa mungkin ia hanya menunggu ajalnya untuk gugur. Sementara bibirku kering, agak perih dan sedikit berdarah dijemur dibawah angin-angin yang menggigit.
Bangunan itu terlihat agak lapuk secara fisik, bertuliskan agak besar “toko TIWI” dan terjemahan tulisan chinese yang tidak terbaca di mata lentikku, beranjak ke dalam ditemukan Sup*rmi, Sa*imi, Mie Se*aap, yang terbang (atau mengapung) jauh dari pabriknya di Karawang dan Purwakarta. Penjaganya seorang warga lokal muallaf (aku ketahui hal ini belakangan) beristri seorang Warga Negara Indoensia, mbak TIWI, Yah, gambaran sebuah toko Indo (baca: masyarakat lokal menyebut Indonesia dengan Indo) diantara buanyak toko Indo di Formosa.
Langsung diarahkan ke lantai 3,
Setelah mencopot sandal dan kaus kaki, beranjak masuk kedalam ruangan dengan alas beton kasar diselimuti karpet hijau, ujungnya sudah menggulung, melindungi dari angin luar menggunakan dinding asbes yang “sedikit” dipaksa untuk dipersatukan dengan baut tajam, untuk “memperindah” dinding dari lengkungan asbes digunakan spanduk seken sebuah acara penyejuk hati yang diselenggarakan oleh “orang-orang tempat itu”. Dipojok berjejer komputer layar lebar, laptop, colokan 3 lubang, permainan biliar model kecil dan beberapa kerat roti. Akhir-akhir kuketahui bahwa komputer dan jaringan internet digunakan untuk menjadi daya tarik Tenaga Kerja Indo untuk sowan ke tempat itu.
Tempat itu musholla, tanpa mimbar, satu-satunya tempat sholat di sebuah kota terbesar ke-4 di Taiwan.
Idealisme akan agama yang mulai terkoyak di hati para Tenaga Kerja (belakangan kuketahui koyakan ini juga menerpa para mahasiswa), bebasnya kehidupan malam, gaya pakaian wanita yang ndak enak dilihat, dinginnya waktu subuh, minimnya fasilitas sholat, tidak adanya air di tempat BAB, kerinduan akan segala sesuatu yang berhubungan akan tanah air, serta belum lagi paparan makanan yang mengandung babi dan daging yang tidak menyebut nama Allah saat disembelih sudah sedemikian luasnya,
Masalah semua bukan? Bayangkan seberapa besar potensi mereka untuk mengeluh,
Sedangkan mereka seperti laiknya manusia biasa,
Bagaimana di Kampus? (tak usah diajabarkan, tinggal memberikan negasi pada kalimat-kalimat yang menjabarkan keadaan disana)
Namun, sepanjang aku disampingnya, berjalan beriringan, hanya senyuman khas transformasi dari sebuah perasaan ikhlas yang aku lihat. Hanya itu, tanpa keluh.
Catatan di bawah rimbun Sakura
Formosa, 22 Maret 2011
Posting Komentar