Kayaknya udah lama ndak nangis, namun barusan ampir aja air mata menitik (kembali) lewat hantaman lembut sebuah lagu dari Opick,
terangkanlah.. terangkanlah..
jiwa yang berkabut langkah penuh dosa
bila masa tlah tiada
kereta kencana datang tiba-tiba….
(Khusnul Khatimah by Opick-Tahunnya ndak tau)
terus terang udah untuk kesekian kalinya jadi begitu melankolis, jadi menganggap sedang sendiri di ladang penuh alang-alang yang ujungnya berembun, jadi begitu diningin hingga bulu-bulu reflek tegak, jadi menganggap semua gelap walau neon terang ada di atasku, kepala ku yang dipenuhi berbagai macam pikiran berat, pengap dan mengapung (hampir) mengantarkan air mata menuju dunia luar.
Hari ini dan hari-hari sebelumnya, astaghfirullah, kalo dipikir-pikir malu juga yah, malu sama Allah.
Teringat dosa-dosa beruntun terakhir yang aku lakukan, mendekati 24 jam yang lalu, aku kembali dari kampung halaman menengok ibu yang memang perlu ditengok. Transportasi Sumatra yang harusnya wajar apabila macet karena kuanitas jalan yang ndak sebanding dengan kuantitas mobil malah menjadi sasaran umpatanku.
Awalnya aku masih tahan, masih memandang wajar kemacetan itu, lama kelamaan dibujuk oleh suasana panas dan engap di dalam mobil bus yang sedang penuh sesak, belum lagi kondisi penumpang penuh sesak mengakibatkan udara ndak karuan, memori ku tentang kampung halaman yang menumbuhkan emosi semakin membuat hatiku terbakar, di hati timbul keluh dan dongkol besar, lebih besar mungkin dibanding kampus IPB.
Tanpa sadar terbesit keluh, mengapa aku hanya punya uang sedikit sehingga aku hanya bisa naik bis non-AC, tanpa sadar ada rasa dongkol kepada supir bis yang masih memasukkan penumpang walau kapasitas bis sudah over load sehingga udara dalam bis menjadi tak karuan, sebagian hati juga menyimpan dongkol kepada Dinas PU yang tidak memindahkan bulldozer dengan segera dari tengah jalan sehingga malah menimbulkan macet, macet kecil sebenarnya karena tak lebih dari 45 menit.
Kapal ferry yang molor jauh dari jadwal merapat ke Merak, macet di tol Tanggerang-Jakarta, di usir tentara di Kampung Rambutan, macet di tol Jagorawi, macet di jalan baru dan macet di depan kampus, menambah robekan pada jaring kesabaran. Kesabaranku, kalkulasi minus.
Selebaihnya banyak serpihan keluh berujung dongkol lain disasarkan pada objek yang sebenarnya (kalau dipikir-pikir) juga tidak menginginkan keadaan itu terjadi.
Walau tak ada suara keluar dari getaran pita suaraku dan tak ada orang yang tau, tapi Allah tau, sangat tau, jika tembok kesabaranku yang hanya setipis kulit bawang ini mulai jebol, berantakan,
Sekarang aku, aku malu pada mu ya Allah, malu.
terangkanlah.. terangkanlah..
hati yang mengeluh saat hilang arah
detik waktu yang memburu
detik yang tak pernah kembali padaMu
terangilah.. terangilah..
bimbing kami dalam langkah
ampunilah.. maafkanlah..
dosa hidup sebelum di akhir masa
23.52,
Posting Komentar