"Ikhlas" benar-benar sulit bagi seorang Septian mengartikan kata ini, bukan karena kata ini sulit ditemui di kamus atau literatur penerjemah lain, sebenarnya di buku juga banyak, sangat mudah, bahkan penjelasannya sungguh rinci. Dipelbagai pembicaraan pun kata ini merupakan topik yang tak pernah bergenti bergelombang, walau terkadang ditransformasi menjadi "luruskan niat", "ridho" atau "lillahita'ala" atau apalah kata lain yang sama, yang mengkondisikan sebuah keadaan ideal (yang sangat sulit ditemukan) bagi sebuah medan kontribusi.
Membahasakannya memang sulit, setiap bahasa memiliki penafsiran sendiri, belum lagi perbedaan struktur pemikiran eks dan in-brain si penafsir penfsiran bahasa tersebut.
Namun, aku melihatnya malam ini. Sebuah bentuk konkret kata ikhlas. Aku yakin pada asessment yang aku berikan pada objek ini, begitu murni tanpa kepentingan bahkan kepentingan ormas Nasdem, partai NasDem, PKS, KAMMI, KONI Pusat, Rokok Bentoel, apalagi Produsen Makanan Mayora.
Aku melihat pada kesan ikhlas sebuah Cangkir.
Biasa, hanya sebuah cangkir yang berdiri di dekat tempat cucian asrama PPSDMS ''create future leader", biasa yang masih tersisa bekas kopi yang mengering.
Kopi itu mengering yang tersisa hanya pahit mungkin, bahkan sudah tak lagi hitam agak kecoklatan seperti baju kepanduan, dindingnya tak mampu menyembunyikan ampas kopi yang entah mungkin berguna atau mungkin masih berguna untuk media kembangan bakteri sehingga tidak dicuci oleh si peminumnya. Bukan main-main loh si peminum merupakan pemimpin masa depan yang memiliki berjuta potensi luar biasa mentereng yang (memang) agak sibuk.
Cangkir itu putih polos agak berbercak hitam kecoklatan, mungkin karena cipratan ampas kopi sampai bagian luar. Anehnya, cangkir ini ndak protes apalagi makar berlanjut mogok kerja seperti pilot Garuda Lokal, ndak mau lagi menampung kopi, walau badannya dibiarkan (secara sengaja atau tidak sengaja) kotor oleh sang future leader.
Tangkainya patah bagian bahwahnya, mungkin ada benturan keras yang menyakitkan hatinya, membuatnya kecewa pada kinerja, sedikit membuatnya mempertanyakan kembali kredibilitas janji dan teori kontribusi, membuatnya tak lagi sedap dipandang dan sedikit rapuh. Tapi, aku ndak melihat kerut sendu di wajahnya atau rembesan air mata yang belum mengering.
Belum lagi, kalau dipikir sudah berkali dia diperlukan sama persis seperti ini. Ini bukan yang pertamakali dan bukan pula yang terakhir kali bagnya.
Aku melihatnya tetap berdiri sebagai sebuah cangkir dengan sebuah kebanggan di dadanya bahwa ia adalah sebuah cangkir yang 'pernah' berjasa besar bagi sebuah pembentukan karakter pemimpin masa depan.
Seketika melalui proyektor di badan putih-melingkarnya bersinar mengeluarkan sebuah teks berjalan yang hijau skotlet berjalan pelan diiringi instrumental perang...
Kami tidak mengharapkan sesuatupun dari manusia;
tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya,
tidak juga popularitas,
apalagi sekedar ucapan terima kasih :)
Indonesia, 29 Juli 2011
KONI Pusat
Jumat, 29 Juli 2011
Posted in My nation
Posting Komentar