Aku Septian, lengkapnya Septian Suhandono. Sekarang #Alhamdulillah :D memperoleh kesempatan luar biasa, dapat merasakan dinginnya bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di negeri ini.
Kampung (kusebut demikian karena memang tidak ada halte trans jakarta atau stasiun kereta listrik di desa kami) tempat orang tuaku dan aku tinggal, lebih leluasa jika disebut daerah asalku, tidak jauh dari pusat peradaban. Hanya beberapa langkah dari urat nadi Sumatera. Urat nadi, kusebut demikian karena memang jika tidak ada jalan ini, tidak akan terjadi reaksi respirasi di mitokondria Jantung pulau Sumatera, yak orang PU menyebutnya Jalan Trans Sumatera.
Namun ibarat pinang dan kencur, urgensitas jalan Trans Sumatera yang sering kami ambil aspalnya ketika aspalnya masih berupa hot mix dan masih basah, ini ternyata tidak koheren dengan kapasitas penerimaan pendidikan (dan hal lain yang berhubungan) masyarakatnya. Jauh, sangat jauh jika dibandingkan dengan status pendidikan(dan hal lain yang berhubungan) dari si empunya mobil-mobil mewah yang hampir tiap detik lewat tepat di depan mata-mata tukang ojek yang lagi nunggu penumpang turun dari bis Rajabasa-Bakauheni, di pinggir jalan.
Memandang desa adalah memandang realitas. Memandang dengan objektivitas tanpa disertai data statistik yang (terkadang) menipu. Realitas sebuah pendidikan di negeri dimana anak SD desaku tidak tahu menahu tentang legenda Sangkuriang, karena memang mereka tidak pernah membaca legendanya di ruangan yang disebut oleh orang-orang akademis sebagai Perpustakaan.
Tepat di bagian belakang ruang kelas mereka terdapat jejeran bangku dan kursi yang (lumayan) bagus berwarna kuning gading gajah. Bangku dan kursi guru. Ruang kelas mereka tergabung dengan ruang guru, atau sebaliknya? Ruang guru yang tergabung dengan ruang kelas.
Guru olahraga mereka, pak Kusnadi, sesekali mengajar Bahasa Indonesia, beliau juga ahli di Agama Islam. Tapi jangan salah pengetahuan IPA-nya tidak kalah dengan Soeryo Wibowo-atlet lari 100 m yang dapet emas di Sea Game Nakhon Rachatsima Thailand kemaren.
Ah, sudahlah, tak baik rasanya hanya terus menerus membeberkan cacat-nya negeri ini di tengah Gegap Gempita ulang tahun ke 66 negeri ini. Toh, pembeberan ini hanya dapat diterima oleh orang-orang yang memiliki nurani, yang jumlahnya semakin hari semakin sedikit.
Tapi "sedikit" bukan berarti tidak ada kan?. Sama seperti harapan itu, walau sedikit, tapi tetap (masih) ada kan?. :D
Posting Komentar