Pick Up 1 (Italic)

Memandang desa seperti memandang mobil pick up dari dalam kaburator-nya, sangat dekat hingga kaki ini tak kuasa menahan getaran yang disebabkannya. Mata ini kabur hingga berair menyaksikan mobil pick up ini terpelanting ke jurang jauh dari peradaban yang dikecap orang-orang di KRLCommuter Line Bogor-Jakarta. Malu sebenarnya, menampakkan diri sebagai seorang mahasiswa yang punya banyak akun dunia maya ditengah kehijautuaan mobil pick up ini.


Desa ini masih seperti mobil pick up dulu, yang digunakan untuk bersilaturahmi bersama 24 orang dewasa ples belasan anak-anak dipunggungnya. Tanpa handphone, apa lagi i-pad di genggaman tangan orang-orangnya. Hanya ada beberapa bungkus kacang rebus dan teh manis yang ber-ampas sebagai bekal nanti. Karena lepas silaturahmi akan mampir duduk diatas tikar di samping pantai Ketawang yang panas. Selepas sore, akan pulang membawa senyuman harapan, senyuman harapan untuk mengulangi kembali di awal Syawal tahun depan.


Desa ini masih seperti mobil pick up dulu, yang tulisannya MITSUBISHI-nya sudah tergore-gores oleh pacul dan suku-suku traktor. Memang masih terbaca oleh anak-anak SD yang tak bersepatu, yang lebih senang main bola di sawah kering retak, dari pada duduk tenang mengeja huruf di bangku sekolah. Mohon maaf, mobil pick up ini tak seperti bus Nusantara kelas Premier Class yang ber-WiFi, jangan kan WiFi, warung internet pun jauhnya 2,5 jam dari desa. Itupun jika jalanan tidak berair akibat sungai yang meluap tak kuasa menahan limpahan air hujan dari gunung yang sudah gundul tadi malam. Entahlah, apakah 6000 IDR untuk 54 menit adalah harga yang terlalu sedikit untuk membalas jasa “pembuka jendela dunia” di pelosok jauh desa? Kurasa terlalu sedikit.


Desa ini masih seperti mobil pick up dulu, yang mesinnya meraung bersih nyaring walau moncongnya tak memiliki plat no polisi. Entahlah, mungkin tak ada yang lebih merdu dari suara mobil tanpa plat meraung di siang terik dan jangkrik sebangsanya pada malam dingin berangin. Sesekali ada suara lagu yang lagi top “ABG Tua” dan beberapa lagu WALI ketika ada sanak-saudaranya menikah atau menikah (lagi).

Memandang desa seperti meng-mikroskop sebuah realitas secara objektif tanpa dipengaruhi data-data statistik yang (terkadang) menipu. :D

Rabu, 07 September 2011

Posting Komentar

Arsip Blog