Mari kembali mengingat, syarat untuk masuk dalam sebuah organisasi kemahasiswaan. Poin pertama, yang sangat ditekankan, poin krusial, poin yang tidak boleh dilanggar yakni "Mahasiswa Aktif bla bla bla". Syarat ini merupakan syarat mutlak, tidak seperti kelengkapan administrasi lain seperti CV atau Surat Keterangan Sehat yang deadline pengumpulannya dapat diperpanjang, (bahkan) beberapa organisasi kemahasiswaan tidak mewajibkan aspek ini.
Kadang kita (dan penulis tentunya) sering lupa bahwa sejatinya kita adalah mahasiswa. Mahasiswa diembankan untuk mengembangkan bidang keilmuan sesuai dengan subject yang mahasiswa tersebut ambil di awal perkuliahan. Saat lulus, mahasiswa harus menjadi scientific center of excellence, artinya mahasiswa harus siap menjadi solusi spesifik bagi masalah-masalah yang timbul dalam bidang keilmuannya. Mahasiswa solutif seperti ini dapat secara paripurna menguasai teori keilmuan bidangnya serta bagaimana teknik implementasinya dalam masyarakat.
Organisasi kemahasiswaan lebih ditujukan untuk mengasah kemampuan leadership mahasiswa. Artinya, aspek implementasi teori keilmuan mahasiswa sudah ditopang oleh kegiatan kemahasiswaan diluar ruang kelas (walaupun kadang banyak mahasiswa tidak menyadari urgensi ini). Lalu bagaimana dengan teori keilmuan mahasiswa itu sendiri?. Hal yang sering menjadi masalah utama bagi mahasiswa yang (sengaja atau tidak sengaja) diberi gelas "aktivis".
Karena sudah disibukkan dengan agenda organisasi (rapat, konsolidasi, event organizer dan banyak lagi) terkadang mahasiswa lupa akan jati diri mahasiswa itu sendiri, sebagai scientific center of excellence. Contoh kecil, seorang aktivis mahasiswa Ilmu Gizi yang pulang kampung "gelagapan" saat ditanya "makanan apa yang bagus untuk seorang anak bayi yang pilek terus menerus". Memang tidak dapat menggeneralisir semua aktivis berpolapikir demikian, namun tak dapat dipungkiri juga, banyak aktivis mahasiswa yang demikian adanya.
Saat ini, tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui penguasan teori keilmuan seseorang adalah ujian mata kuliah. Terlepas dari kurang atau bahkan tidak representatifnya tolak ukur ini, namun penggunaan ujian sebagai tolak ukur menempati posisi paling sesuai dengan kebutuhan saat ini. Hasil ujian yang direpresentasikan dalam bentuk nilai dapat digunakan apakah seorang mahasiswa berhasil dalam menyerap materi keilmuan saat kuliah atau sebaliknya. Kalkulasi nilai ini lebih lanjut dilihat dalam bentuk Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).
Kebiasaan yang sering terjadi pada mahasiswa bergelar aktivis beranggapan bahwa IPK bukan merupakan sesuatu yang penting. IPK tidak dapat digunakan untuk mengukur potensi sukses seorang mahasiswa di masa depan. Sekali lagi, tidak bermaksud menggenalisir semua pemikiran mahasiswa, namun tidak dapat dipungkiri banyak mahasiswa khususnya aktivis yang menggunakan pola pikir ini.
Pemikiran ini tidak sepenuhnya salah. Namun, jika sudah sampai pada pemikiran bahwa IPK bukan merupakan sesuatu penting, ini jelas-jelas salah. IPK yang terakumulasi dari nilai-nilai ujian utamanya dan tugas-tugas perkuliahan merupakan tolak ukur yang paling representatif untuk mengukur kemampuan keilmuan seseorang. Kembali lagi ke pemahaman awal bahwa tanpa bekal keilmuan akan terjadi ketimpangan saat mahasiswa tersebut turun ke masyarakat dengan menyandang gelar kebesaran di spesifikasi masing-masing. Hal ini dikarenakan tak ada "sesuatu" yang dibawa (yang sesuai dengan spesifikasi keilmuannya) untuk ditransfer ke masyarakat.
Komplementasi IPK baik dan leadership yang mumpuni merupakan syarat utama bagi semua lulus perguruan tinggi untuk siap menjadi agen transformasi di masyarakat kelak. Jika kemampuan leadership dipelajari dari organisasi kemahasiswaan, sekarang saatnya (kembali) belajar keilmuan masing-masing, simpel saja di ujian ini. Agar tidak mati!.
Posting Komentar