Muara Sarapan

Ah, udah lama ndak sarapan kayak gini.

Selepas dari UI bersama seorang karib, pulang pagi sekali, kereta ke dua kalo ndak salah dari Jakarta Kota. Menggeser langkah ke bagian kiri, sekitar 200 meter, membeli daun pisang untuk membungkus keperluan seminar yang diselenggerain sama asrama tempat ku tinggal. 

Crek, crek, crek beres. Alhamdulillah. 

Berhubung belum sarapan, timbul niat untuk sarapan. Merogoh ke kantong celana, ada uang, 1 lembar merah dan 1 lembar kuning kecoklatan. Yak, bisa sarapan berarti. 

Sebuah warung sederhana, bentuknya seperti lemari kayu besar bercat kuning kusam namun diletakkan horizontal. Atapnya menjorok ke bawah, hampir 35 derajat. Penjual dan pembelinya hanya dipisahkan oleh papan pipih panjang yang di atasnya ada pisang, getuk dan sukun goreng. Sebuah bangku, yang panjangnya hampir sama dengan panjang warung menjadi penanda bahwa pemilik warung tersebut mempersilahkan pembelinya untuk berlama-lama 'nangkring' di warungnya. 

Bagian bawahnya yang menempel pada bumi, yang menumpu semua beban warung tersebut, terwanai oleh percikan tanah, yang terangkat oleh air hujan. Menanda bahwa warung itu tak sebentar mendiami tempat itu. 

Seorang ibu, dengan berjuta senyum menyapaku ketika aku mendekat.

Sarapan, dengan nasi, sayur sop ayam (yang benar-benar ada ayamnya), tempe potongan besar 1, bakwan jagung 1, sukun goreng 1, bakwan biasa goreng 1, sambel beberapa sendok. 

Makan, lahap. Bersama beberapa tukang becak, berbagi bangku. Mengobrol banyak tentang daun pisang yang aku beli, tentang aku yang kuliah di IPB, tentang aku yang 'melawan arus' karena seharusnya pagi-pagi orang menuju Jakarta namun aku malah ke Bogor, tentang SBY, tentang madrid, tentang semua yang benar-benar merunduk. Seperti icon SHIFT pada keyboard. Semuanya bergerak ke atas. Menggantung. Memberi pelajaran bahwa, bahwa, bahwa, hidup adalah menikmati. 

Beres sarapan, mbayar, eh, apa? 3500. Sampai sekarang, aku masih sulit untuk merasionalisasikan harga setiap jenis makanan yang aku makan nanti.

Sampai sekarang masih kepikiran, apa penjualnya salah itung? atau aku salah denger dan uang ku ndak diperiksa lagi? ah entahlah. Yang jelas, aku selalu merindukan sarapan seperti itu lagi.

Sama seperti dulu, saat SD, saat ibu masih sehat, saat masih indah, saat aku masih merasakan sarapan buatannya walau hanya sayur angetan. Saat aku belum punya komputer dan blog ini.  


Sabtu, 25 Februari 2012

Posting Komentar

Arsip Blog