Berpikir “bandel”, memang punya risiko
(Arif Munandar)
Buat orang yang deket sama aku, kalau dikasih pertanyaan apakah aku bandel atau ndak, pasti hampir semua jawabannya. Iya. Septian bandel!. Bahkan kalo emang ada orang yang baru kenal sama aku 3 hari pun, pasti ndak ada yang ngelak kalau aku ini seorang yang "bandel".
Dalam pandangan ku, yang pastinya egosentris, bandel itu pilihan, pilihan setiap orang tapi masih ada koridor yan membatasinya. Kalau aku yang mbatasin itu norma agama, susila dan hukum. Kalo kata Dimas "kita ndakberhak untuk ngelarang-ngelarang orang!".
Ndak nurut, mempertanyakan kenapa (?), mengkritisi (?), menilik kembali (?), menanyakan data kuantitatifnya (?), menanyakan kok pake ini
(?) , menyakan apakah ada distorsi pesan dari sumber informasi awal (?), sampai menanyakan apakah udah sarapan atau belum(?) *loh
Aku paham resiko, sangat paham (mungkin), bandel dalam lingkaran ini seperti gergaji yang berputar cepat yang akan merobohkan karir atau sebaliknya melejitkan karir. Tinggal menunggu saja, apakah gergaji itu memorong pohon atau 'dijual' lalu diberikan kembang api yang mengeluarkan kelap-kelap cahaya indah.
Ah bandel,
That's my style!
Ah bandel,
That's my style!
Posting Komentar