Hiperbolis, sepertinya sudah
sampai berbusa kami berkoar untuk menjadikan masalah gizi sebagai masalah seksi
di sebuah pemerintahan. Terus kami berhenti? Oh ndak ya. Ndak akan berhenti, salah
satunya melalui tulisan ini. Karena inilah jalan ninja #eh gizi ku :D.
Bukan hal yang aneh jika musim
kampanye merupakan musim dimana banyak masalah negeri ini terangkat ke
permukaan, terlihat dan menjadi terang-benderang dengan alternatif solusinya. Bener-bener
bisa jadi luber optimisme karena solusi yang ditawarkan Banyak kuantitas
sekolah rubuh yang datanya tersebar di selebaran kampanye, banyak data
kemiskinan, pengangguran, data area slum yang seakan menjadi trisula politik
citra dalam memuluskan jalan seseorang menuju meja jabatan.
Tapi jarang lho, bahkan hampir
ndak ada yang (setidaknya) mencoba untuk mengangkat masalah gizi ke ranah
trisula (atau tetrasula atau apalah) namanya senjata kampanye kandidat kepala
daerah atau kepala negara. Pun juga ketika menjabat perhatian akan masalah gizi
sangat minim. Negara ini hanya memiliki porsi anggaran 1-2% untuk intervensi
perbaikan masalah gizi.
Jawabannya bermuara pada sebuah
fakta yang (agak) menyakitkan bahwa dampak perbaikan gizi ndak bersifat instan.
Instan karena perbaikan dalam bidang gizi tidak dapat dilihat dampaknya dalam
hitungan hari, bulan bahkan tahun. Perlu digunakan satuan waktu lain seperti
windu, dekade, bahkan abad untuk melihat dampak perbaikan gizi. Tentunya satuan
ini ndak ‘nyandak’ kalau dikoherensikan sama jangka jabatan sebuah kepala
daerah/negara yang cuma 5 tahun.
Padahal secara
urgensi ndak kalah lah sama masalah-masalah lain *masalah kok nyombong. Nih,
kita punya 25 juta anak kurang gizi dan 5 juta anak gizi buruk. Dampak panjang
dari keadaan ini adalah degradasi intelejensia saat anak-anak dewasa. Sebanyak
5 juta anak mengalami masalah kurang vitamin A, artinya sebanyak 5 juta anak
memiliki ancaman ndak bisa melihat indahnya pertengkaran di ruang sidang DPR
saat dewasa. Sementara 2 juta ibu-ibu memiliki konsumsi mineral Fe dan biasanya
berkorelasi dengan Ze di bawah standar, artinya akan makin banyak bayi lahir
dengan hidrocepalus. Piye? Piye pak? Huhuhuhu. Belum cukup?
Oke masalah ini
terkotak pada kondsi gizi kurang. Nah, sakbenere kita juga punya masalah gizi
lebih. Kita udah kayak negara maju udah sibuk sama masalah gizi lebih, namun
bedanya kalau negara maju udah beres sama masalah gizi kurang, kita masih belum
:(.
Kita punya 12
juta penderita diabetes mellitus, 17 juta penderita gangguan peredaran darah
dan jantung seperti arteroskelrosis, stroke dan gagal jantung. Jumlah ini
pastinya semakin meningkat seiring gaya idup orang Indonesia yang anak-anaknya
gemar fast food, yang dewasa asyik dengan gorengan, lebaran? semua makanan
(yang katanya enak) memiliki kolesterol tinggi, anak-anak lupa main gobak sodor
di luar rumah, kita (yang udah tua ini) lupa cara naik egrang, dan lupa-lupa laiinya.
Lupa menjalankan idup sesederhana mengirimkan sms.
Huehehe, BTT dah ke topik awal
bahwa masalah gizi ndak seksi buat ide kampanye. Intervensi yang dilakukan
untuk masalah gizi misalnya fortifikasi Vitamin A, Fe, dan Zn atau pemberian
makanan tambahan berbasis potensi lokal atau perbaikan pola pengasuhan anak,
atau peningkatan pemahaman gizi dasar, dan atau atau yang lain, ndak mampu
memunculkan dampak dalam waktu singkat. Indikator keberhasilan yakni
peningkatan status gizi, status intelenjensi, sampai pada muaranya adalah
peningkatan kualitas SDM secara holistik baru akan nampak saat intervensi
dilakukan telaten, kontinyu dan terus menerus minimal dalam satuan windu.
Artinya dalam masa jabatan
seorang kepala daerah/pemerintahan (yang cuma 5 tahun, ini belum dipotong
dengan masa kampanye awal dan kampanye di akhir periode jabatan untuk naik
lagi) ndak akan ada dampak yang dapat dilihat. Apalagi mengharap dampak
intervensi perbaikan pangan dan gizi dalam masa kampanye? Huh malah bisa
dianggap bumerang. Media akan bilang bahwa peningkatan pemahaman gizi pada anak
PAUD yang calon X lakukan ndak berdampak apa-apa pada perekonomian daerah/bangsa
tersebut :p.
Sedang, masa kampanye (pun di
masa jabatan) adalah masa dimana seorang calon pemimpin (dan pemimpin) dituntut
untuk bekerja dengan dampak jelas dalam waktu singkat.
Piye jal?
Posting Komentar