Ini ditulis di kamar Agim, dulu
kamarku waktu tinggal di Purworejo. Kamar yang paling belakang kalo diliat di
rumah ini dari arah depan (kalimatnya ndak efektif banget yak?). Kamar yang
paling gede. Kamar yang masih pake ranjang tinggi, tempat mandiin almarhum
simbah kakung dan simbah nini. Dulu mamah juga pernah mau dimandiin di ranjang
ini.
Sekarang kamar ini udah ada PES
nya, kayaknya tadi sore Agim baru maen. Noh masih idup lampu indikator ON/OFF
nya. Tapi TV LCD 14 inch nya udah mati.
Jadi tadi jam 11 malem baru aja
nyampe di tanah kelahiran Purworejo, dijemput lek Mamek di depan PLN Kutoarjo.
Turun dari Shuttle Bus Sumber Alam yang louver AC nya dinginnya keterlaluan T.T.
Untung hp ku Samsung, jadi baterenya bisa lebih awet.
Aku yang tempat lahirnya sama
kayak mamah, Purworejo. Ya Aku. Aku adalah saksi hidup rumah ini. Dari mulai
ada masih ada logo Golkar di depannya, eh juga ada logo KB di samping pintu
kanan cokelat yang tinggi dan berangi. Sampai saat ini, saat bagian depannya
udah berganti keramik biru licin. Dari mulai ada mbah Kakung, mbah Nini, sampai
kini tinggal Lek Mamek dan mbak Mus. Dari mulai Sekdes nya mbah Kakung sampe
sekarang Sekdes-nya nurun ke Lek Mamek.
Keluarga Ahmad Muskendar masih
adakah? Ah itu pertanyaan klise. Klise banget. Akupun ndak tau jawabannya apa.
Sekarang dengan kondisi seperti ini, jelas banyak yang bisa aku ambil, apapun,
bahkan remah-remah sisa hidup awal dekade 2000-an dulu. Sekarang semuanya
berubah, jadi kayak pohon jambu di samping kanan rumah yang udah ganti jadi toilet
2 dan kamar mandi.
Agak bingung berada di tengah
berbagai kutub. Mencoba untuk bersahabat dengan semuanya, dengan semua yang
terkait. Entah kesalahan apa yang telah dibuat hingga remah sisa-nya pun
menolak untuk diingat dan mengingat. Adalah hal yang wajar kalau aku berharap
semua baik, seperti dulu, tanpa menimang berapa petak sawah yang telah aku
dapat. Huh sawah, rada tabu bicara kata ini di sini.
Pernah menerima sesak mendalam
juga di rumah ini. Di posisikan dalam keadaan serba salah. Allah memang maha
baik, masih beberapa orang yang percaya pada kebenaran hati. Sesak yang semakin
menjadi ketika merasa sendiri, tanpa support psikis nun juga fisik. Agak lebay
sih kalo bilang bahwa saat itu, setiap detik terasa perih dan merah marun. Juga
ndak pernah terpikir saat itu menjadi Septian yang bermimpi menjadi Menteri
Negara Urusan Pangan atau Direktur Harapan Bangsa Foundation.
Sesak yang sekarang masih ada,
menyembul perlahan mengingat sisa-sisa jejak masa lalu yang harusnya terkubur
dan nyemplung dalam palung hati paling ceruk. Bener-bener sadar bahwa itu harus
dilontarkan hingga ketepian ingatan, agar ndak ada lagi bulir bening air yang
nempel di pipi.
Agak bingung juga kalau disuruh
nunjuk satu nama atas siapa, apa atau kondisi apa, yang harus dipersalahkan dan
bertanggungjawab sama negeri ini.
Mbak Anin, salah satu yang bisa
jadi harapan gantungan, bahwa, bahwa aku (masih) punya saudara juga bahwa
keluarga mbah Kakung masih ada. Duh, sangat pengen bahwa semua masih ada.
Dirumah ini ari-ari ku tertanam!
Posting Komentar