Judi dan minuman
Masih ku maafkan
Tapi mabuk janda
Aku tak terima
Lebih baik kita bubaran saja, ykhhhoooookh!
Siang ini terik, khas kota Atlas,
khas negeri tropis. Individu dengan Angka Metabolisme Basal (AMB) tinggi
seperti ku pasti menghasilkan bulir-bulir NaCl.H2O yang lumayan
banyak untuk stabilkan suhu tubuh. Sesekali ada angin yang bersumber dari
kibasan badan bus, melarutkan debu menjadi aerosol, adem sih, tapi duh bisa
jadi faktor resiko buat acne.
Backsound lagu hingar bingar berlirik di awal tulisan, menyekak
telinga, mengalahkan suara alam kota pinggiran laut, suara bis, suara calo,
suara penjaja makanan, suara hati #eh suara perasaan #eeh #plak suara cinta
#eeeh #pelaklagi. Namun lirik yang dilantunkan dengar menarik pita suara
maksimal itu belum menarik minat ku untuk
mendekat atau sekedar terhibur.
Hanya memandang dari jauh, dari
tempat teduh terlindung pohon berbuah cokelat (yang kayaknya ndak bisa dimakan)
yang entah apa namanya. Ndak jelas, namun cukup jelas. Tentang apa yang
dilakukan beberapa orang, di tempat agak tinggi, beralaskan papan kayu yang
dilapisi karpet dominan merah, di tempat samping sumber suara berasal.
Ada orang. Bajunya merah dengan
sepatu menyentuh betis. Bergerak ke kanan ke kiri, kadang tangannya ke atas, kadang
benda hitam panjang berhelai, rambut, bergoyang ke mana-mana. Di panggung,
panggung papan berangka besi. Untung sinar matahari terhalang tutup terpal
hijau tebal agak kotor, sehingga ndak membuatnya mengusap kening berkali.
Persis didepannya, kosong, ndak
ada orang berniat melihat lebih dekat, lebih jelas, hingga lekuk tubuh dan
kerlingan mata bisa jadi alat komunikasi yang cukup efektif. Kebanyakan berdiri
dari jauh, sembari menunggu bis (seperti aku), berjualan air minum kemasan,
memegang setir, tidur, membuat mi ayam, mengetuk kentongan siomay dan melongo.
Beberapa gadis muda, seusia SMA,
berjalan mendekat. Persis aku kenal, logo dengan background warna ini, logo dan warna yang sama dengan backdrop (anggaplah) konser musik dangdut
(sepi) di ujung sana.
Beli satu dong mas. Harganya diskon 25% loh mas. Sembari senyum,
nada suara seperti merengek, mengiba.
Maaf mbak saya ndak ngerokok. Kata itu terucap otomatis, praktis,
ndak pake mikir, aja sembari nyengir dan telapak tangan membentuk seperti
awalan tari mekhanai.
Mbak-mbak itu pergi bergeser ke yang
lain, persis sama menawarkan jatah dagangnya, jatah yang harus dipikulnya
sebagai omset penjualan perusahaan yang logonya ada di bajunya. Sempat melirik kearah
loop mbak tadi, masih penuh, artinya
masih belum ada yang berkurang barang satu pun.
Setelah agak jauh.
Hati mulai bicara. Hari mulai
bergidik. Duh, kok aku egois ya? Egois banget. Walau ndak ngerokok apa salahnya
aku beli satu? Sekedar meringankan bebean penjualan yang ada pada pundak
mbak-mbak itu? Toh aku tetep punya uang cukup untuk sekedar melanjutkan jalan
ke Purworejo.
Pasti mbak-mbak itu membawa
harapan untuk keluarga di rumah, yang menunggu buah keringat-nya. Menunggu buah
tangan dengan berjuta senyuman yang mbak-mbak itu rindukan.
Sudah matikah hati ini? Sudah
terbiasakan hati ini pada keadaan ‘masa bodo’ dan ‘apa masalah buat loh’?.
Posting Komentar