Hari sudah sore, mungkin sudah masuk waktu malam. Mungkin sudah waktunya
makan malam. Ah ternyata aku lupa makan siang, ndak ada yang ngingetin sih.
Haha. Samping kanan dan depan lagi pada ngomongi dolar. Aku ndak seharusnya
ikut campur, ndak berhak juga sih.
Di belakang ada papan tulis putih. Kalau SMA dulu sebelahnya ada papan
hitam. SMA, putih biru, kamu. Mungkin kamu jadi alasan aku menulis ini. Bukan
mungkin, tapi memang begitu. Sempat diawal tadi aku terpejam. Ah beberapa hari
belakang ini ndak kubayangkan senyummu, ada di pesan-pesan singkat mu. Biasanya
begitu, ada senyum, banyak senyum yang menyerta pesan singkat mu. Walau
diam-diam diantara banyak orang, aku juga ikut tersenyum saat membacanya.
Kamu baikkah? aku baik. Malam tadi aku memimpimu. Kalau tidak salah
seminggu terakhir, aku sering begitu.
Adalah benar jika aku laki-laki. Yang buruk. Mungkin aku lebih buruk
dari Rangga yang tinggalkan Cinta lebih dari 12 tahun. Jelas aku lebih buruk
dari Sandiaga S. Uno, pedagang, pebisnis besar yang aku tau pertama kali dari
mu. Aku bahkan lebih buruk dari orang yang menyerobot antrian ATM. Aku pernah
jahat padamu? kamu tentu tahu jawabannya.
Saling mengenal sejak SMA, sampai saat ini, ah sudah hampir 6 tahun
ternyata. Dengan berbagai perbedaan yang waktu awal itu pun sudah berbeda.
Sampai sekarang jelas masih berbeda. Aku tidak masalah. Toh Taufik Hidayat
lebih memilih Ami Gumelar sebagai istrinya, bukan Ardiyanti Firdasari yang
sama-sama pe-bulutangkis. Atau aku perlu uraikan contoh lain? lihatlah
sekelilingmu, apakah perbedaan bisa jadi alasan untuk tidak bersama?. Berbedalah
yang buatku tertarik padamu. Hanya padamu, bahkan saat kamu uring-uringan,
dengan pesan-pesan mu.
Kita berbeda dalam banyak hal, kecuali dalam. Perlu aku lanjutkan
kalimat ini? Kecuali dalam cinta.
Aku menulis dengan penuh harap, seperti seorang anak kecil yang begitu
berharap dibelikan mainan, robot-robotan. Regret.
Posting Komentar