Salak



Sekarang aku tau Gunung Salak kenapa dinamain Salak, bukan, bukan karena bentuknya yang mirip salak, bukan karena banyak pohon salak juga, bukan juga karena banyak yang jual bubur biji salak, apalagi karena disana banyak orang namanya Salak.

Ini karena, gunung itu, emm, Gunung itu banyak mengandung dietary fiber, kayak Buah Salak.

Sempet kepikiran ndak sih kita capek ngurusin sesuatu? Aku sempet. Tapi kalo ndak dengan ini dengan apa aku mengabdi?. Udah mulai cari jalan bagaimana seharusnya bukan bagaimana yang aku pengen kayak apa. Sembari terus menyelaraskan apa yang aku pengen dan seharusnya aku lakukan.

Menjadi anak adalah sebuah pengabdian, tanpa syarat, tanpa meminta kembali. Ibaratnya matahari yang udah ngaktifin Pro-vitamin D jadi Vitamin D, posisi anak adalah Vitamin D yang harus segera meregulasi keseimbangan Ca dan F antara tulang dan darah. Kalau Vitamin D menyemenye, ndak becus regulasi, siap-siap aja osteoporosis. 

Mungkin bener, hal tersulit baginya adalah meminta bantuan, tapi bukan berarti ndak butuh bantuan kan?. Belum pernah kan aku di posisinya? Posisi yang atas, yang akan menjadi contoh, tentu sangat presisi menentukan apa yang harus dilakukan.

Capek sih, tapi apa iya capek? Akankah senyumnya belum menentramkan mu? Atau, oh aku tau, atau ambisi untuk ego lebih besar dari dirinya. Ego yang meluluhlantakkan sifat alamiah seorang manusia, yang membuat manusia semakin ingin lebih dan lebih. Ego yang timbul dari gesekan akselerasi karir di sekitarnya. Padahal kan rencana Allah jauh lebih indah. Indah kayak Mahameru. Surya Kencana juga.

Ego jualah yang menghempaskan hal yang seharusnya ia lakukan dibawah tangga ambisi.

Sekarang aku tau, belum saatnya aku memikirkan itu, sedikitpun. Aku masih harus mengabdi, padanya, padanya yang berselimut biru, biru laut.

Kamis, 10 Januari 2013

3 responses to Salak

  1. bingung, maksudnya apa sih?

  2. oiya,, ciee,,tampilan blog baruuu

  3. @mbak ichi: emang bukan untuk dimaksud-i mbak :D

Posting Komentar

Arsip Blog